Etalase Barang Impor Luxury

Diskusi Calon Pemimpin: Adu Visi Misi atau Adu Emosi



Penulis: Dinna F Norris

Tak banyak orang piawai mengendalikan emosi ketika berada dalam situasi diskusi yang panas. Sebagian cenderung tersulut kemudian merespon dengan cara berteriak lantang atau memotong pembicaraan saat lawan bicara sedang berusaha memberi penjelasan.

Ketidaksabaran berbicara, kata Milan Kundera, juga berarti ketidaksabaran untuk mendengarkan. Mereka gagal menangkap maksud karena terlanjur menyela pembicaraan dengan berteriak lantang hingga yang terjadi adalah kesalah pahaman bergegas. Lalu kesalah pahaman yang bergegas ini akan mencuatkan nalar-nalar tanggung, terbang dan berjatuhan bagaikan dedaunan yang dikibas angin.

Hal ini mengingatkan saya pada Adian Napitupulu, politisi sekaligus senator yang berasal dari partai berlambang banteng moncong putih. Adapula yang bereaksi brutal hingga membuat pemirsa menganga sambil geleng-geleng kepala. Seperti yang pernah ditunjukkan Munarman saat menyiram lawan bicaranya, Thamrin Tomagola dengan segelas air. Bahkan seorang Akbar Faisal yang biasanya cukup tenang pun bisa terpeleset ke arus jeram. Kala itu politisi dari Fraksi Hanura ini menjerit dan berteriak saat argumennya dibantah keras-keras oleh Jonru dalam sebuah acara diskusi bergengsi yang dipandu Karni Ilyas.

Hal-hal demikian mudah ditemukan pada acara-acara debat atau talk show di televisi, sebuah layar segiempat yang menyuguhkan praktek debat yang tak jarang dibumbui pertengkaran, saling bersitegang urat leher, dan lomba berteriak hingga penonton kesulitan mencari esensi apa yang terkandung dalam sebuah diskusi. Topik yang harusnya menarik dan berguna, jadi teralihkan karena acara tersebut mempertontonkan komunikasi ala hutan rimba: mengaum sekeras-kerasnya agar semua makhluk merasa keder dan ketakutan.

 

Acara Debat Paslon Tak Ubahnya Medan Laga

Menuju acara 5 tahunan pesta demokrasi, publik kembali disuguhkan acara debat yang konon katanya menjabarkan gagasan para kontestan, namun yang acap terlihat adalah pertunjukan emosi yang mengaburkan hakikat debat, membuat ruangan yang tadinya diperuntukkan sebagai adu pemikiran dan atraksi cita-cita berubah menjadi medan laga.

Kali ini, calon presiden dengan nomor urut dua, Prabowo Subianto, lagi-lagi naik tensi pada acara debat yang dihelat oleh Komisi Pemilihan Umum. Capres yang diusung oleh tujuh partai politik itu sontak menunjukkan sikap beringas saat diusik soal data pertahanan dan alutsista oleh calon presiden nomor urut satu, Anies Baswedan. Prabowo juga nampak berang saat Anies mengungkit kepemilikan lahan.

Namun, kemarahan Prabowo Subianto rupanya tak landai meski debat telah usai. Ia kembali ‘menyeret’ Anies Baswedan di kandang sendiri, sebuah forum yang digagas oleh para pendukungnya baru-baru ini. Prabowo, dalam pidatonya di Pekan Baru, menyebut mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut goblok dan tolol, yang kemudian disusul teriakan simpatisan.

Bukan sekali ini saja Prabowo bersikap demikian. Ketika dicerca pertanyaan atau komentar yang tak sesuai seleranya, Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum partai berlambang kepala burung garuda itu tak segan-segan menampakkan amarahnya meski kadang sembari menyelipkan tarian.

Bukan sekali ini saja mantan menantu Presiden Soeharto ini mempertontonkan emosinya. Pada acara debat pemilu 2019, di mana Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Uno, Prabowo sempat marahi audiens yang tertawa saat ia menjelaskan soal sistem pertahanan.


Ini Ruang Debat, Bukan Pasar Murah

Saya tak tahu pasti apakah prilaku marah-marah saat diskusi cukup efektif membuat lawan bicara memahami apa yang disampaikan. Saya juga tak tahu mengapa acara-acara sejenis talkshow atau diskusi harus saling serang, menunjukkan egoisme dengan mengoceh tanpa henti dan tak memberi kesempatan bagi lawan bicara menyampaikan argumennya. Namun yang acap saya amati, berteriak dan gemar memotong pembicaraan cukup mujarab membungkam pergerakan rival diskusi. Lawan bicara akan terkejut, gugup, jiper, dan sebagian memilih diam. Alasan diam itu beragam:

·         bukan untuk mendengarkan, melainkan mencoba bersabar di tengah deraan keberingasan.

·         mereka paham bahwa membantah atau menyampaikan argumen di hadapan orang yang sedang emosi tak ada faedahnya sama sekali.

·         diam-diam mereka bertanya dalam hati: hewan macam apa yang ada di depanku sekarang ini?

·         yang terakhir, tak hendak mencoreng martabat dan harga diri dengan saling adu teriak dan berbantah-bantahan

Betul bahwa diskusi harus ‘berisik’ sebab dihadiri individu serta konstituen yang berasal dari kelompok berbeda dengan pemikiran berbeda pula. Akan tetapi meyampaikan argumen dengan bingkai teriakan, ekstra emosi, dan menyela pembicaraan, bukan cara terbaik untuk membuat orang paham dan mengerti akan maksud yang hendak disampaikan. Alih-alih menyampaikan hal substansi, malah melenceng dari tema pembahasan.

Lagipula, apa sebenarnya yang hendak dicapai dalam sebuah diskusi? Glorifikasi karena telah berhasil menghempang lawan bicara? Tepuk tangan membahana karena menjadi pemenang debat? Atau hendak menyampaikan pemikiran agar dapat dicerna supaya tidak disalah pahami?

Apa mereka pikir dengan berteriak-teriak saat debat itu keren? Apa mereka pikir sikap reaksioner dan emosional saat debat itu mulia? Apa mereka pikir memotong ucapan lawan bicara merupakan bentuk kecerdasan?


Masih Ada Satu Sesi Lagi, Prabowo Subianto, Berbenahlah

Sebagai seorang yang  pernah berkecimpung di dunia militer, Prabowo Subianto tentu akrab dengan didikan keras, tegas dan disiplin ala prajurit. Amarah dan teriakan lumrah terjadi di tengah-tengah lembaga ini. Karena seorang perwira dilatih untuk menghadapi situasi gawat darurat dan serangan, bukan mengurusi maling ayam.

Tak mudah memang untuk mengikis sebuah kebiasaan. Meski demikian bukan berarti sulit untuk membenahi sifat temperamental. Tentunya butuh banyak praktek dan pengalaman untuk mengelola emosi agar tak menjadi bumerang yang akhirnya malah meruntuhkan marwah dan harga diri di hadapan banyak orang. Apalagi, panggung debat bukan hal yang asing bagi seorang Prabowo Subianto, mengingat ini adalah kali ketiga ia maju sebagai kontestan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Masih ada satu sesi diskusi lagi, yaitu pada 4 februari. Prabowo wajib berbenah jika tak ingin elektabilitasnya disalip oleh paslon 1 dan tiga. Fokus saja pada tema debat, tak perlu reaktif pada stimulus atau situasi, jawab pertanyaan sesuai yang diketahui, bicaralah dengan lugas dan tegas, bukan marah-marah apalagi sambil berteriak. Rakyat butuh pemimpin yang berwibawa, bukan sekadar pamer harta atau menenteng nama bekas ayah mertua. Rakyat ingin presiden yang bernyali menghempang tipu daya ‘petani berdasi’, tegas memberantas korupsi dan segala kejahatan extra ordinary, bukan pemimpin yang menzalimi dan marah-marah pada bangsanya sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Baca Juga

Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال