Etalase Barang Impor Luxury

Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Pembentukan Badan Otorita Food Estate di Sumatera Utara

disrupsi.id - Medan | Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) menilai proyek pengembangan Food Estate di Humbang Hasundutan (Humbahas) menghadapi berbagai masalah mendasar yang berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani lokal, kelestarian lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat.

Proyek Food Estate yang diluncurkan di Kabupaten Humbang Hasundutan mencakup lahan seluas 165.000 hektare, tetapi hanya sekitar 10% dari lahan ini yang dikelola secara aktif. Mayoritas lahan yang tersisa, sekitar 80-90%, terbengkalai dan tidak terurus. 

Kondisi ini tidak hanya mencerminkan kegagalan manajemen lahan tetapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi petani yang menggantungkan hidup mereka pada lahan tersebut. Selain itu, banyak petani dihadapkan pada kontrak-kontrak yang merugikan. 

Mereka diwajibkan membeli bibit dari perusahaan dengan sistem utang, yang menyebabkan mereka terjebak dalam lingkaran utang yang semakin parah ketika panen gagal. Banyak petani terpaksa mengagunkan tanah mereka ke bank untuk mendapatkan modal, sehingga berisiko kehilangan tanah mereka sendiri. 

"Dampak ini semakin memperburuk kesejahteraan petani, yang pada akhirnya harus bekerja sebagai buruh di lahan mereka sendiri dengan upah yang rendah," ujar Sekretaris Eksekutif Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi.

Delima Silalahi menilai pembentukan Badan Otorita Food Estate Sumatera Utara melalui Peraturan Presiden (Perpres) ini sebagai bukti bahwa Pemerintah Pusat tidak belajar dari kegagalan-kegagalan yang terjadi atas keberadaan Food Estate. 

"Banyak terjadi perubahan yang tadinya dia berdaulat atas tanahnya kini menjadi buruh tani. Pola menanam, yang seharusnya petani menanam produk pangan, kini mereka harus menanam produk untuk dijual kepada perusahaan," terangnya.

Belum lagi, skema food estate ini terus berubah. Skema pertama, program masih subsidi pemerintah. Skema berikutnya diganti dengan offtaker dan contract farming. 

"Kemudian skema hari ini dengan hadirnya badan otorita food estate yang mana memang kehadiran food estatenya saja sudah bermasalah malah menghadirkan lagi badan otorita," ujarnya.

Dampak negatif lainnya adalah terhadap lingkungan. Konversi lahan hutan menjadi wilayah food estate mengancam keanekaragaman hayati dan meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan longsor. Hilangnya lahan hutan juga memicu konflik agraria yang berkepanjangan antara pemerintah, masyarakat adat, dan pihak swasta. 

"Pembentukan Badan Otorita Food Estate hanya akan memperparah situasi ini dengan mempercepat proses pelepasan kawasan hutan menjadi wilayah otoritatif yang dikembangkan untuk perkantoran dan fasilitas pendukung pertanian," terangnya.

Sementara itu, Direktur Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Tongam Panggabean menambahkan konflik agraria yang timbul bukanlah satu-satunya masalah. 

"JAMSU menyoroti bahwa pembentukan Badan Otorita Food Estate juga menghilangkan kewenangan daerah dalam pengelolaan dan perencanaan pertanian," urainya.

Pemerintah daerah, yang memiliki otonomi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Pertanian, akan kehilangan haknya dalam merencanakan dan mengelola budidaya pertanian di daerah otonom mereka. Hilangnya kewenangan ini mengancam otonomi daerah dan sumber pendapatan lokal.

“Kami melihat ini ada persoalan multidimensi dari keberadaan food estate. Ada dimensi struktural, terkait soal nilai tanah, nilai komunal tanah akhirnya semakin hilang. Belum lagi, 10 tahun belakangan kita dihadapkan pada kebijakan yang sentralistik. Sehingga ini melemahkan masyarakat dan pemerintah daerah. Kami melihat setiap ada proyek nasional yang terhambat dijawab dengan kelembagaan," pungkasnya.

Terlihat dengan adanya kelembagaan maka terlihat semua menjadi sentralistik. Lumbung pangan itu harus kembali kepada konsep kearifan lokal dan kedaulatan pangan. Pemerintah Daerah harus bisa mengatakan tidak kepada program food estate yang hari ini tidak memberikan kewenangan kepada mereka. 

"Proyek Strategis Nasional juga makin menghilangkan faktor lingkungan dalam pembangunan. Akhirnya semua pembangunan terlihat hanya sekedar greenwashing. Kita harus mendesak kepada pemerintah daerah untuk bisa bicara terkait program food estate," ungkapnya.

Konsep Food Estate sendiri, tambahnya, sudah salah karena tidak dirancang secara efektif dan totalitas. Karena ini tidak dirancang dengan duduk bersama dengan petani terutama petani pangan. 

"Jika pemerintah mau memperbaiki kembali konsep food estate ya kembali pemerintah harus memakai data sensus pertanian untuk kembali mengetahui apa yang menjadi sumber daya dan apa yang perlu dikelola. Perlu Pemerintah memberikan konsep merdeka bertani sebagai solusi," paparnya.

Oleh karena itu, dia meminta agar Pemerintah segera membatalkan Rancangan Peraturan Presiden Badan Otorita Food Estate Sumatera Utara. Pemerintah harus mengedepankan Kebijakan terkait pertanian dan pangan yang berbasis pada pendekatan lingkungan, penyelesaian konflik, dan kepentingan lokal.

"Ranperpres Badan Otorita yang diusulkan oleh pemerintah sangat birokratis, teknokratis, dan berbasis pertumbuhan. Pemerintah harus mengevaluasi secara menyeluruh proyek Food Estate dengan melibatkan partisipasi aktif dari petani lokal dan kelompok masyarakat adat," tegasnya.

Akademisi dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Prof. Dr. Posman Sibuea menyebutkan petani bebas menentukan akan menanam apa dan bagaimana mereka menjualnya. Sehingga petani bisa membuat pasarnya sendiri. 

"Petani bisa bertemu langsung dengan pembelinya. Sehingga ini bisa memutus mata rantai kehadiran tengkulak," urainya. (*)
Baca Juga

Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال