disrupsi.id - Medan | Kekerasan terhadap jurnalis sesuatu yang tidak boleh dibiarkan, ini harus ditolak atau diarahkan bagaimana nilai-nilai yang diyakini adalah untuk menjaga rekan-rekan pers bisa bekerja dengan maksimum. Kemudian hasil ataupun berita yang dibuat bisa bertanggung jawab dan terverifikasi dengan baik.
“Itu akan membangun satu literasi yang baik bagi masyarakat terkait dengan banyaknya isu yang sekarang bisa diungkap,” kata Kapolda Sumut, Inspektur Jenderal Polisi Agung Setya Imam Effendi dalam webinar ‘Kebebasan Pers dan Perlindungan Terhadap Jurnalis di Sumatera Utara’ yang digelar Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sumatera Utara.
Terkait dengan kebebasan pers, Agung menggarisbawahi beberapa hal yang tentu menjadi penting untuk diskusikan, seperti pentingnya penegakan supremasi hukum, bahwa dalam negara demokrasi, hukum menjadi panglima. Tentu semua berjalan menuju ke sana, termasuk mempedomani kode etik masing-masing profesi.
“Tapi kita paham, mekanisme ini tidak sama satu dengan yang lain, dan tentu kita ingin semakin bagus dalam konsep pemikiran dan implementasinya. Terkait dengan Sumatera Utara, kita harap bisa meningkatkan indeks kemerdekaan pers dan benar-benar bisa hidup,” sambung mantan Asisten Operasi (Asops) Kapolri ini.
Dia melihat pada indeks kemerdekaan pers 2023, ada isu yang menjadi penting yaitu hak atas informasi penyandang disabilitas yang belum terpenuhi, tata kelola pers, perlunya independensi pers bebas dari pengaruh kelompok kepentingan dan kesetaraan bagi kelompok rentan.
“Ini tentu menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama untuk mewujudkannya. Laporan kekerasan wartawan yang diterima, misalnya tahun 2021 ada 13 laporan, selesai 1 kasus, pada 2022 ada 13 laporan, selesai 3 kasus, kemudian tahun 2023 ada 7 laporan, 4 bisa selesai dan 2024 ada 1 laporan ditanganiditangani, " ucapnya.
Agung kembali menegaskan, bahwa Kepolisian Republik Indonesia telah menandatangani Nota Kesepakatan (MoU) dengan Dewan Pers. Kata dia, ini menjadi satu kesepakatan untuk berkoordinasi dalam melindungi kebebasan pers.
“Itu saya rasa relevan dengan topik kita dan bagaimana kita mengatur, kerja sama dalam menangani dugaan tindak pidana terkait penyalahgunaan profesi jurnalis. Ini juga penting karena mekanisme penegakkan hukum sering dipersepsikan sebagai penekanan. Kita harus bisa mengidentifikasi dan memberikan masukan terkait apa dan bagaimana proses penegakan hukum yang ideal terhadap profesi jurnalis,” tuturnya.
Melindungi jurnalis dalam menjalankan tugas-tugasnya, itu satu hal yang harus digarisbawahi, sesuatu yang harus hidup, harus nyata di lapangan dan semestinya harus mendapat perlindungan.
Ia pun mendukung keberadaan KKJ Sumut sebagai wadah pendampingan dan perlindungan terhadap jurnalis yang mengalami tindak kekerasan, intimidasi, maupun kriminalisasi.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli mengatakan jurnalis bukan profesi yang sekedar mencari nafkah, itu tidak salah, tapi ada satu mandat yang besar sekali dari konstitusi yaitu memenuhi hak publik untuk tahu. Publik berhak ikut untuk tahu menyangkut kepentingan mereka.
Berbekal mandat yang begitu besar maka kekerasan pada jurnalis adalah sebuah penghianatan dan perbuatan melawan hukum terhadap konstitusi. Jadi ada yang lebih besar lagi ketimbang kekerasan hanya pada wartawan.
Tentu saja, kata dia, agar semua ini berjalan sesuai rencana maka yang harus dilakukan, yaitu dari sisi jurnalis harus memenuhi satu perangkat yang tidak bisa ditinggalkan meskipun diberi mandat yang besar, yaitu kewajiban menjalankan kode etik jurnalistik.
Jurnalis tidak bisa sewenang-wenang dan Pers itu juga harus menjaga harkatnya. Kemudian perlunya jurnalis bersikap profesional, bekerja hanya untuk kepentingan masyarakat bukan yang lain, seperti untuk polisi, tim pemenangan, kelompok tertentu (pengusaha) itu juga tidak bisa dibenarkan.
“Kode etik lain misalnya, independensi. Artinya dalam menyajikan sebuah pemberitaan di tulis atau tidak, dasarnya adalah nilai berita, harus diputuskan secara independen oleh redaksi tanpa ada intervensi dari pemerintah, pemegang saham media, pemimpin redaksi dan sebagainya,” tegas Azul, sapaan akrab.
Menurut jurnalis TEMPO ini, bila kode etik bisa dijalankan sama memenuhi hak publik, maka mestinya tidak ada peristiwa seperti yang diskusikan hari ini, yakni kekerasan. Lebih dalam dia menerangkan, jurnalis tidak boleh dipukul, diintimidasi saat berada di lokasi demonstrasi, karena semua stakeholder menjalankan tugasnya. Larangan untuk wartawan melakukan investigasi, itu tidak boleh muncul karena bertentangan dengan konstitusi.
“Jadi yang paling penting adalah melindungi kemerdekaan pers. Dilindungi itu kemerdekaan persnya, bukan medianya. Jadi, kalau ada media ‘bandel’, itu pasti dijewer, gak boleh dibela, kalau ada jurnalis menerima amplop harus dihukum, karena dengan menerima amplop, si jurnalis itu sedang mereduksi kemerdekaan pers,” kata Azul.
Dia mengatakan, jika secara normatif ada karya jurnalistik yang dianggap berkualitas buruk atau melanggar kode etik, kekerasan pada jurnalis bukanlah cara, bukanlah solusi karena itu melanggar peraturan.
“Namun, kekerasan itu tidak hanya disebabkan oleh pihak luar, tapi disebabkan pihak pers, yaitu penerapan satu model bisnis yang tidak cukup baik dalam melindungi wartawan. Sehingga, perlindungan terhadap jurnalis harus dilakukan baik dari dalam maupun dari luar,” tambahnya.
Tujuan KKJ Sumut
Tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumatera Utara menjadi salah satu alasan dibentuknya KKJ Sumut. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan ada peningkatan kasus kekerasan setiap tahun. Pada tahun 2022 ada 8 kasus, angkanya kemudian naik jadi 10 kasus di 2023 dan hingga April 2024 ada 4 kasus. artinya ada kenaikan kasus di sumut.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sumatera Utara, Array A Argus mengatakan, terdapat beberapa lembaga-lembaga pers dan kelompok masyarakat sipil di dalam komite itu. Dia menjelaskan, adapun tujuan KKJ, diantaranya melakukan pemantauan kasus, kemudian melakukan advokasi, dan mendorong jurnalis di Sumut untuk menjalankan kerja-kerja sesuai kode etik dan mencatat setiap peristiwa yang terjadi.
“Dari beberapa kasus itu, ada dibawa ke persidangan dan pelaku divonis penjara. Namun begitu, kalau ada terjadi kasus kita terlebih dahulu melakukan verifikasi, sehingga diketahui mana yang benar-benar kekerasan karena kerja jurnalis dengan yang bukan atau di luar kode etik,” beber Array. (*)
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.