Disrupsi.id, Simalungun - Sebuah video yang beredar di media sosial menyoroti keluhan seorang perempuan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Dalam video yang viral itu, perempuan tersebut mengungkapkan kesedihannya karena tanaman yang telah bertahun-tahun dikelolanya dihancurkan oleh alat berat tanpa sisa pada tahun 2021.
Perempuan itu merupakan istri dari Marjan Girsang, salah satu petani penggarap yang bekerja sama dengan pemilik lahan berinisial HB di Dusun Hoppoan, Desa Sinar Naga Mariah, Kecamatan Pematang Silima Huta.
Menurut penelusuran, lahan tersebut secara sah dimiliki oleh seseorang berinisial HB, yang kemudian memberikan izin pengelolaan kepada Karya Bhakti Purba. Untuk memastikan lahan tetap produktif, para petani setempat, termasuk Marjan Girsang, diberi kesempatan bercocok tanam. Namun, konflik mencuat pada 21 September 2021 ketika sebuah alat berat jenis buldozer Komatsu D60/8 tiba-tiba meratakan sebagian lahan tanpa pemberitahuan atau dasar hukum yang jelas.
Atas kejadian ini, Karya Bhakti Purba melaporkan dugaan pelanggaran hukum ke Polres Simalungun melalui Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STPL) No: 178/X/2021/SPKT/RES SIMALUNGUN tertanggal 6 Oktober 2021. Laporan tersebut menyinggung Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan lahan.
Namun, meskipun laporan telah dibuat, Karya Bhakti Purba mengaku laporan tersebut tidak mendapatkan tanggapan serius. Situasi justru semakin memburuk ketika pada 2 Oktober 2021, tanaman kol, padi, dan bawang merah milik para petani kembali dirusak, menyebabkan kerugian hingga ratusan juta rupiah. Atas kejadian ini, Marjan Girsang kemudian membuat laporan tambahan ke Polsek Saribudolok pada 15 November 2021 dengan STPLP Nomor: STPL/32/XI/2021/Simal Dolok, terkait dugaan perusakan yang diatur dalam Pasal 406 KUHP.
Selain perusakan tanaman, warga juga mempertanyakan pengukuran lahan yang dilakukan pada 7 Oktober 2021. Sejumlah orang yang dikawal aparat kepolisian dan pihak yang mengaku dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun tiba-tiba datang untuk melakukan pengukuran di atas lahan yang mereka kelola.
Ketika ditanya dasar hukum pengukuran tersebut, salah seorang petugas menyerahkan fotokopi Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2 atas nama PT Sipiso Piso Soadamara, yang diterbitkan BPN Simalungun pada 24 Januari 2001. Warga yang menggarap lahan tersebut menegaskan bahwa tanah itu telah bersertifikat Hak Milik (SHM), namun keberatan mereka diabaikan dan pengukuran tetap dilakukan.
Meski kasus ini telah berlarut-larut, hingga kini belum ada perkembangan signifikan dalam proses hukum. Rudy Chairuriza Tanjung, SH., pengacara yang mendampingi para petani sekaligus Ketua Jaringan Pendamping Kebijakan dan Pembangunan (JPKP) Wilayah Sumut, mengungkapkan bahwa pada 27 Februari 2024, Ditreskrimum Polda Sumatera Utara telah mengirimkan surat bernomor B/1283/II/RES.7.5/2024/Ditreskrimum ke Polres Simalungun. Namun, tindak lanjut atas laporan ini masih belum terlihat.
Tak hanya itu, Rudy juga melaporkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh oknum Kasat Reskrim Polres Simalungun dalam menangani perkara ini. Laporan tersebut telah dikirimkan secara online ke Propam Polri pada 26 Desember 2024 dengan nomor registrasi 11241226000044.
Dalam pernyataannya, Rudy Chairuriza Tanjung berharap agar pemerintahan Presiden Prabowo segera mengambil tindakan tegas terhadap mafia tanah, yang diduga melibatkan aparat penegak hukum serta pejabat negara.
Para petani yang menjadi korban perusakan lahan ini masih menanti keadilan. Mereka berharap ada langkah konkret dari pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus ini dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian.
Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.