IHSG Tumbang Usai Lebaran, Jangan Gegabah Jual Saham!


disrupsi.id - Medan | Setelah rehat panjang dari 28 Maret hingga 7 April 2025 karena libur Idulfitri, Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi kembali beroperasi pada Selasa, 8 April 2025. Namun, pembukaan perdagangan diwarnai dengan tekanan tajam terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat terjun bebas hingga 9,19% ke level 5.912,06.

Gejolak pasar ini tak datang tanpa sebab. Ketegangan perdagangan global kembali memanas akibat kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat yang direspons keras oleh Tiongkok. Situasi ini ikut mengguncang pasar finansial internasional dan akhirnya merembet ke Indonesia.

"Seperti yang diperkirakan oleh para pelaku pasar modal, situasi yang sama terjadi pada saat perdagangan di BEI dibuka kembali pada Selasa, 8 April 2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat turun 9,19% dan menyentuh level 5.912,06," kata Kepala BEI Sumut, Pintor Nasution.

Sebelum libur Idul Fitri 2025, pada Kamis, 27 Maret 2025, IHSG ditutup menguat 0,59% ke level 6.510,62. Penurunan yang terjadi pada hari pertama pasca libur Idulfitri membuat BEI mengambil langkah untuk melakukan trading halt atau penghentian sementara perdagangan.

"Gejolak ini dipicu oleh kombinasi faktor eksternal seperti kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, serta depresiasi nilai tukar Rupiah yang menembus sempat menyentuh angka psikologis Rp17.000 per dolar AS di pasar luar negeri," ujarnya.

Di tengah kondisi pasar yang bergejolak ini, kunci utama bagi investor adalah tetap tenang dan tidak mengambil keputusan emosional. Perlu diingat, tujuan investasi di pasar modal adalah jangka panjang. Pasar saham memang naik-turun dan itu normal.

"Gejolak harian bukan alasan untuk mengubah tujuan investasi jangka panjang. Apalagi jika memang tujuan investasinya adalah untuk dana pensiun 10-20 tahun lagi, maka penurunan saat ini tidak akan berdampak signifikan dalam jangka panjang," pungkasnya.

Pintor berpesan jangan pernah mengambil keputusan spontan yang didasari oleh kepanikan di tengah gejolak harga saham. Panik adalah musuh terbesar investor. Sebaliknya, pertimbangkan untuk menahan, mengevaluasi, atau bahkan menambah investasi.

"Memahami behavioral finance, yaitu studi tentang bagaimana psikologi memengaruhi keputusan keuangan, menjadi krusial dan dapat membantu investor mengembangkan strategi investasi yang lebih baik. Mengapa emosi bisa mengalahkan logika dalam investasi? Sebagai manusia, keputusan kita sering dipengaruhi oleh emosi," sebutnya.

Dalam konteks investasi, beberapa bias psikologis yang umum terjadi meliputi, pertama, Fear of Missing Out (FOMO). Ketika melihat IHSG naik, investor mungkin merasa takut ketinggalan dan tergesa-gesa membeli saham tanpa analisis mendalam.​

"Kedua, Loss Aversion, yaitu, kecenderungan untuk lebih merasakan sakit akibat kerugian dibandingkan kebahagiaan dari keuntungan yang setara, mendorong investor untuk menjual saham saat harga turun guna menghindari kerugian lebih lanjut," urainya.

Ketiga, overconfidence, yaitu rasa percaya diri berlebihan yang dapat membuat investor meremehkan risiko dan membuat keputusan investasi yang kurang bijaksana.​ Keempat, herd mentality, yaitu mengikuti tindakan mayoritas tanpa pertimbangan pribadi, seperti menjual saham karena banyak orang lain melakukannya, meskipun mungkin tidak sesuai dengan strategi investasi individu.​

"Saat pasar turun, banyak saham yang memiliki fundamental bagus diperdagangkan dengan harga lebih rendah dari nilai wajarnya. Ini bisa menjadi peluang emas bagi investor jangka panjang untuk mengoleksi aset berkualitas dengan harga rendah. Pastikan portofolio investor terdiversifikasi. Jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang, kombinasikan saham, obligasi, atau reksa dana," sebutnya.

Jika merasa khawatir atau bingung, tambah Pintor, konsultasikan dengan perencana keuangan yang bisa membantu mengevaluasi portofolio dan membuat strategi yang sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi setiap investor.

"Tenang bukan berarti pasrah. Justru saat pasar bergejolak, ini saatnya mengevaluasi strategi investasi para investor. Apakah masih sesuai dengan tujuan? Apakah ada peluang yang bisa dimanfaatkan? Jadikan ini momen refleksi, bukan reaksi spontan," urainya.

Di tengah situasi pasar modal yang selalu bergerak dalam siklus naik, turun, lalu naik lagi. Investor sukses bukan yang selalu untung, tapi yang tetap tenang dan konsisten saat gejolak datang. Sejarah menunjukkan bahwa investor yang mampu mengendalikan emosi dan tetap berpegang pada strategi investasi jangka panjang cenderung mencapai hasil yang lebih baik.

"Misalnya, selama krisis keuangan global 2008 dan Pandemi COVID-19 pada 2020, pasar mengalami penurunan tajam, tetapi kemudian pulih dan mencapai level tertinggi baru. Investor yang tidak panik dan konsisten dengan strategi investasi mereka selama periode tersebut akhirnya memperoleh keuntungan dari pemulihan pasar," kata Pintor.

Mengelola emosi dalam investasi adalah keterampilan penting yang harus dimiliki setiap investor. Dengan memahami bagaimana psikologi memengaruhi keputusan keuangan dan menerapkan strategi untuk mengendalikan respons emosional, Anda dapat membuat keputusan investasi yang lebih rasional dan menghindari jebakan panic selling.

"Ingatlah bahwa volatilitas pasar adalah hal yang wajar, dan pendekatan yang tenang dengan bekal informasi yang cukup akan membantu Anda mencapai tujuan investasi jangka panjang," bebernya. (*)

Baca Juga

Baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال