BACA JUGA:
Disrupsi.id, Gaza City – Seorang dokter anestesi Australia, Dr. Saya Aziz, yang sedang bertugas di Rumah Sakit Al-Shifa, yaitu fasilitas medis terbesar di Gaza menggambarkan kondisi di sana sebagai “bloodbath” atau mandi darah, di mana ratusan orang tewas setiap hari akibat serangan Israel yang intensif.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera dan ABC News, Dr. Aziz menceritakan bagaimana ia kehilangan hitungan jumlah amputasi darurat yang dilakukan pada korban luka bakar dan tembakan, sementara pasien sering tiba dalam kondisi meninggal saat kedatangan atau dengan luka yang terlalu parah untuk diselamatkan.
“Kami melakukan C-section darurat pada seorang wanita hamil sembilan bulan yang dipenggal kepalanya,” katanya, menekankan kekacauan di ruang gawat darurat yang kehabisan obat bius dan peralatan.
Situasi ini diperburuk oleh blokade Israel yang memutus pasokan medis, meninggalkan dokter-dokter asing seperti Dr. Aziz dan rekan-rekannya bekerja di bawah ancaman bom dan tembakan drone.
Keterangan saksi mata dari berbagai tenaga medis memperkuat gambaran horor tersebut. Dr. Nada Abu Al Rub, dokter Australia lainnya di Al-Shifa, melaporkan melalui TRT World dan postingan di X bahwa sistem kesehatan Gaza telah runtuh total, dengan rumah sakit kewalahan oleh ratusan korban harian dari serangan di Gaza City.
“Kami bisa mati kapan saja,” ujarnya, menggambarkan bagaimana drone Israel menembaki ambulans dan mencegah evakuasi.
Direktur Al-Shifa, Dr. Mohammad Abu Salmiya, yang pernah ditangkap dan disiksa oleh pasukan Israel, menyatakan bahwa rumahnya dihancurkan tanpa peringatan, membunuh beberapa anggota keluarganya dalam upaya “pembantaian”.
Seorang paramedis Amerika di Gaza, yang berbicara secara anonim, mengatakan bahwa rumah sakit dikelilingi pasukan Israel dengan drone, UAV, dan kendaraan lapis baja, memaksa evakuasi paksa yang membahayakan nyawa.
Selain itu, perawat Mohammed Hasan Hassan tewas bersama lima anggota keluarganya dalam serangan artileri Israel pada Rumah Sakit Jiwa Gaza, di mana quadcopter Israel mencegah ambulans mendekat selama lebih dari 20 jam.
Secara historis, serangan Israel terhadap fasilitas kesehatan di Gaza telah menjadi pola sejak dimulainya perang pada Oktober 2023, dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 697 serangan pada fasilitas medis hingga Mei 2025, termasuk 28 serangan tambahan dalam seminggu terakhir periode tersebut. Dari 36 rumah sakit di Jalur Gaza, 94% atau sekitar 34 di antaranya telah rusak atau hancur, meninggalkan hanya 19 yang masih beroperasi—12 di antaranya menyediakan layanan dasar dan sisanya hanya perawatan darurat terbatas.
Timeline serangan mencakup delapan rumah sakit unik seperti Al-Shifa, Al-Ahli, Al-Awda, Nasser, Al-Aqsa, Kamal Adwan, dan Indonesia Hospital, dengan insiden seperti pemboman Al-Ahli pada Oktober 2023 yang menewaskan ratusan orang berlindung, dan pengepungan Al-Shifa pada Maret-April 2024 yang membunuh ratusan, termasuk staf medis.
Korban jiwa dari serangan-serangan ini sulit dihitung secara pasti karena laporan yang tidak lengkap, tetapi angka spesifik termasuk setidaknya 118 kematian dari insiden terdokumentasi (seperti 90 di Al-Shifa pada Maret 2024, 20 di Kamal Adwan pada Desember 2024, dan 5 di Al-Aqsa pada Oktober 2024), ditambah “ratusan” atau “banyak” dari serangan lain mengakumulasi ribuan korban secara keseluruhan.
Dampak ini berkontribusi pada total kematian perang yang melebihi 68.000 orang hingga September 2025, dengan ribuan pekerja kesehatan terluka atau tewas, menurut Kementerian Kesehatan Gaza dan WHO.Upaya internasional, termasuk seruan PBB untuk penyelidikan, terus bergema, tetapi blokade dan serangan berkelanjutan membuat bantuan sulit mencapai Gaza. Dokter-dokter asing seperti Dr. Aziz menolak meninggalkan pasien, meski risikonya semakin tinggi, dengan harapan tekanan global dapat menghentikan eskalasi ini.