HeadlineInternasionalOpini

Kelaparan di Gaza Bukan Dampak Perang, Melainkan Senjata yang Disengaja

×

Kelaparan di Gaza Bukan Dampak Perang, Melainkan Senjata yang Disengaja

Sebarkan artikel ini
Kelaparan di Gaza Bukan Dampak Perang, Melainkan Senjata yang Disengaja
Anak kelaparan di Gaza (poto: Farida Al-Ghoul)

Kelaparan yang kami hadapi di Gaza adalah senjata perang Israel. Tolong jangan berpaling.
Kelaparan dan pengungsian bukanlah kebetulan. Itu disengaja, bagian dari rencana Israel. Kelaparan bukan sesuatu yang tanpa wajah. Ia adalah mata cekung setiap anak di Gaza.

disrupsi.id – Palestina | Hari ini di Gaza, kelaparan bukanlah produk sampingan perang – melainkan senjata. Ia direkayasa, disengaja, dan tanpa belas kasih. Bagi saya dan keluarga, kenyataan pahit ini bukanlah hal abstrak. Ia terus menggerogoti tubuh kami, membayangi setiap napas yang kami hirup.

Sertifikat JMSI

Dan kini kami menghadapi bencana baru: militer Israel bersiap mengambil alih Kota Gaza dan memaksa penduduk Gaza utara pindah ke selatan. Saat saya menulis ini, kami telah diperintahkan untuk meninggalkan rumah, tetapi kami tidak tahu harus ke mana.

Saya seorang mahasiswa dan penulis, kini berlindung di Jabaliya, Gaza utara, tempat saya mengelola ruang belajar komunitas untuk anak-anak kecil.

Sejak Israel memberlakukan hampir total blokade terhadap Gaza beberapa bulan lalu, saya telah kehilangan lebih dari 10 kilogram berat badan. Sedikit makanan yang masuk ke Gaza hanya bersifat simbolis: sedikit gula, sedikit keju – tanpa daging, tanpa buah, tanpa sayur. Harga kebutuhan pokok yang masih ada melonjak dua hingga tiga kali lipat, membuatnya semakin tak terjangkau. Saya dan enam adik saya hanya bertahan dengan sisa-sisa makanan. Rasa makanan yang layak sudah tak lagi bisa kami ingat.

Kelaparan di Gaza Adalah Senjata Perang

Kelaparan di Gaza Bukan Dampak Perang, Melainkan Senjata yang Disengaja
Anak kelaparan di Gaza (poto: Farida Al-Ghoul)

Kelaparan di sini bukan penderitaan yang diam. Ia berteriak lewat suara seorang ibu yang putus asa.
Saat bekerja di Gaza utara baru-baru ini, seorang ibu menghampiri saya dengan penuh harap dan mendesak: “Tolong, ceritakan tentang anak saya. Anak saya sedang sekarat.” Dari sanalah saya bertemu putrinya yang berusia 9 tahun.

Ketika saya memasuki tempat mereka berlindung, saya mendapati anak itu terbaring di sudut ruangan – hanya tinggal kulit dan tulang, matanya sayu karena lelah. Ia tidak bisa berjalan, nyaris tidak bisa menelan. Saya merekam kondisinya, dan kisahnya segera menyebar ke media Arab maupun Barat. Namun, anak berusia 9 tahun itu bukanlah kasus tunggal. Ia hanyalah jendela kecil yang menunjukkan kenyataan yang kami semua alami.

Kelaparan juga menggerogoti adik-adik saya, mencuri masa kecil mereka sedikit demi sedikit. Hanya masalah waktu saja sebelum mereka mengalami hal yang sama, yakni kematian.Niat Israel sudah dinyatakan secara gamblang. Pada Oktober 2023, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, berkata: “Tidak akan ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar. Semuanya ditutup.”

Sejak saat itu, 2 juta penduduk Gaza hidup di bawah blokade yang oleh pakar kelaparan asal Inggris, Alex de Waal, disebut sebagai bentuk kelaparan yang paling “dirancang secara detail dan dikendalikan” sejak Perang Dunia II. Pada Maret, Israel memperketat blokade setelah menghentikan gencatan senjata enam minggu, membuat kondisi memburuk dengan cepat.

Angka-angka yang ada sungguh mencengangkan. Pada Juli, hampir 12.000 anak di bawah usia 5 tahun di Gaza dilaporkan menderita malnutrisi akut. Setidaknya 361 orang telah meninggal karena kelaparan dan malnutrisi dalam dua tahun terakhir, termasuk 130 anak – mayoritas dalam beberapa bulan terakhir.

PBB baru-baru ini memperingatkan lebih dari 320.000 anak di bawah usia 5 tahun berada dalam risiko akut.

Dunia Harus Melihat Wajah Kelaparan di Gaza

Saat pemerintah Netanyahu menyetujui rencana mengambil alih Kota Gaza, militer Israel melancarkan serangan terarah ke tenda di depan sebuah rumah sakit yang menampung jurnalis Al Jazeera, menewaskan reporter Anas al-Sharif dan Mohammed Qreiqeh, serta juru kamera Ibrahim Zaher dan Mohammed Noufal. Dengan pembunuhan terhadap jurnalis-jurnalis yang bisa menyuarakan kebenaran tentang Gaza, kami sadar babak baru serangan brutal sedang dimulai.

Hujan bom yang menyusul terasa seperti hari-hari pertama perang: tanpa henti, memekakkan telinga, dan terjadi di mana-mana sekaligus. Namun kami tetap terjebak, di bawah langit yang terbakar dan jalanan yang dipenuhi kehilangan.

Sejak pertengahan Juli, keluarga saya sudah tiga kali mengungsi. Setiap kali berpindah, kami hanya membawa ketakutan dan harapan rapuh bahwa tempat berikutnya mungkin lebih aman. Tapi bom selalu menyusul, seakan setiap jengkal Gaza telah ditandai untuk dihancurkan.

Kami akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan di utara, meski artinya menghadapi kematian.
Karena tak seorang pun di luar sini benar-benar mengerti perihnya pengungsian – berpindah dari satu tempat ke tempat lain di negeri sendiri, tanpa tenda untuk melindungi anak-anakmu, tanpa ruang untuk hidup sebagai manusia. Dalam sekejap, segalanya hilang. Dan ketika kau berbaring di tanah, percaya sudah aman, nyatanya tak ada keamanan sama sekali.

Di balik setiap angka dan statistik dari Gaza ada manusia dengan nama, wajah, dan kisah. Kisah saya. Kisah adik-adik saya. Kisah ribuan anak yang terbuang di kamp pengungsian dan lorong rumah sakit.

Karena itu saya menulis. Dunia harus tahu.

Kelaparan di Gaza Bukan Dampak Perang, Melainkan Senjata yang Disengaja
Anak kelaparan di Gaza (poto: Farida Al-Ghoul)

Kelaparan dan pengungsian bukanlah kebetulan. Itu disengaja, bagian dari rencana Israel. Kelaparan bukan tanpa wajah. Ia adalah tubuh rapuh anak berusia 9 tahun. Ia adalah tubuh saya yang meranggas. Ia adalah mata cekung setiap anak di Gaza.

Biarkan truk makanan masuk. Biarkan anak-anak makan. Hentikan pengungsian tanpa akhir. Akhiri kekejaman yang terencana ini.

Farida Al-Ghoul adalah penulis dan pendidik yang kini berlindung di Gaza Utara.