Disrupsi.id, Kinshasa – Republik Demokratik Kongo (RDK) kembali dihadapkan pada ancaman wabah Ebola virus disease (EVD) yang mematikan, dengan kasus yang terus bertambah di Provinsi Kasai sejak awal September.
Menurut update terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hingga 23 September 2025, terdapat 47 kasus terkonfirmasi, termasuk 25 kematian, dengan tingkat kematian (case fatality ratio/CFR) mencapai sekitar 53%. Empat di antaranya adalah pekerja kesehatan, menandakan risiko tinggi bagi tenaga medis di garis depan.
Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) telah meminta dukungan darurat global karena stok obat dan peralatan medis di fasilitas kesehatan setempat hampir habis, sementara respons vaksinasi dan karantina mulai diterapkan untuk membendung penyebaran.
Adapun wabah ini disebabkan oleh strain Zaire ebolavirus, varian paling virulen dari virus Ebola yang memiliki potensi kematian hingga 90% tanpa pengobatan.
Penyebab utamanya adalah peristiwa spillover dari reservoir alam, di mana virus berpindah dari hewan liar seperti kelelawar buah atau primata ke manusia melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau daging yang terinfeksi. Penularan selanjutnya terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh pasien yang sakit atau jenazah, sering kali diperburuk oleh praktik pemakaman tradisional dan akses terbatas ke layanan kesehatan di daerah pedesaan RDK.
Awal mula kemunculan kembali virus ini terdeteksi pada 4 September 2025, ketika Kementerian Kesehatan RDK mendeklarasikan wabah di zona kesehatan Bulape dan Mweka, Provinsi Kasai.
Kasus pertama melibatkan seorang wanita hamil berusia 34 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan gejala demam, muntah, dan perdarahan internal, yaitu gejala khas EVD sebelum diagnosis dikonfirmasi melalui tes laboratorium.
Secara historis, Ebola pertama kali diidentifikasi pada 1976 di dua wabah simultan: satu di Sudan (sekarang Sudan Selatan) dan satu lagi di Zaire (sekarang RDK), yang memberi nama strain Zaire. Sejak itu, RDK telah menjadi hotspot dengan 15 wabah sebelumnya, lebih banyak daripada negara mana pun di dunia, akibat faktor seperti hutan hujan tropis yang menjadi habitat virus, konflik bersenjata yang menghambat respons medis, dan kepadatan penduduk di daerah perbatasan.
Wabah terbesar terjadi pada 2018-2020 di Provinsi Kivu Utara dan Ituri, yang mencatat 3.481 kasus dan 2.299 kematian, menjadikannya epidemi kedua terbesar dalam sejarah setelah wabah Afrika Barat 2014-2016.
Secara kumulatif, wabah-wabah di RDK telah menewaskan lebih dari 3.500 jiwa sejak 1976, sementara total kematian global akibat Ebola mencapai sekitar 15.266 orang dari 38 wabah yang tercatat hingga 2020. Upaya global seperti vaksin rVSV-ZEBOV telah menyelamatkan ribuan nyawa, tetapi tantangan logistik di RDK tetap menjadi penghalang utama.
Pihak berwenang internasional, termasuk WHO dan CDC, kini mempercepat pengiriman vaksin dan obat monoklonal seperti mAb114, sambil memperingatkan risiko penyebaran lintas batas ke negara tetangga seperti Angola.
Masyarakat diimbau untuk menghindari kontak dengan hewan liar dan melaporkan gejala segera. Jika tidak terkendali, wabah ini berpotensi menjadi yang keenam belas di RDK, mengancam stabilitas kesehatan regional di tengah krisis humaniter yang sedang berlangsung.