disrupsi.id – Medan | Sore itu, di sebuah rumah sederhana di kawasan Karya Jaya Ujung, Medan Johor, Bu Mael sibuk menyiapkan makan sore. Lima anaknya berlarian di ruang tamu berukuran 3×4, berebut sendok dan gelas.
Dari wajahnya terpancar kasih, tapi di balik itu tersimpan keputusan besar yang berbeda dari kebanyakan ibu lain: tak satu pun anaknya pernah menerima imunisasi anak Medan.
“Bukan karena malas atau tak mau. Saya takut saja,” ujar perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat opak untuk diecer ke warung-warung kecil itu.
“Banyak yang bilang, vaksin itu mengandung babi,” ucapnya.
Bu Mael bukan ibu yang tidak peduli pada kesehatan. Ia hanya takut karena penyuluhan terkait imunisasi tak sampai padanya. Informasi yang didengarnya datang dari potongan video pendek dan obrolan di pengajian.
“Kalau belum yakin halal, buat apa disuntik ke anak? Lagipula sampai sekarang anak saya sehat-sehat,” katanya.
Menjelang senja, Bu Mael bergabung bersama anak-anaknya. Ruang tamu yang sempit itu menampilkan dengan jelas kelima anak yang tak pernah divaksin. Bukan karena akses terbatas, tapi karena edukasi imunisasi tak pernah diterima secara utuh.
Cerita seperti Bu Mael bukan hal baru bagi petugas kesehatan di Medan. Di beberapa kelurahan, masih ditemukan orang tua yang menolak imunisasi karena alasan agama, takut efek samping, atau ketidakpercayaan pada tenaga medis.
Namun, tak sedikit orangtua seperti Bu Mael di era modernisasi sekarang ini, yang menganggap imunisasi hanya akal-akalan pemerintah. Padahal, imunisasi adalah upaya meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpapar, penyakit tidak akan parah.
Di tengah arus informasi yang beragam dan kadang salah, penting diingat bahwa hak atas kesehatan anak diatur secara konstitusional.
Edukasi tentang imunisasi, penyediaan vaksin halal, dan layanan posyandu merupakan bagian dari implementasi hak konstitusional bagi anak-anak Medan untuk hidup sehat dan terlindungi dari penyakit.
Bagi sebagian warga, isu kehalalan vaksin menjadi tembok besar. Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menegaskan vaksin pemerintah aman dan diperbolehkan secara syariat. Namun, kabar palsu di media sosial sering menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Medan, dr. Pocut Fatimah Fitri, MARS mengatakan hingga Oktober 2025, capaian imunisasi dasar dan lanjutan pada bayi serta balita belum mencapai separuh dari sasaran yang ditetapkan.
Kondisi ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan kembali kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi. Cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) untuk bayi baru mencapai 38,72% dari sasaran 34.611 anak. Sementara imunisasi baduta lengkap (IBL) hanya 33,44% dari target 35.085 anak.
“Angka ini masih jauh dari target minimal 90%. Artinya masih banyak anak di Medan yang belum mendapatkan perlindungan imunisasi sesuai jadwal,” ujar dr. Pocut.
Selain itu, capaian imunisasi dalam Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) juga masih rendah. Pemberian vaksin MR 1 baru mencapai 32,54%, dan HPV 1 sebesar 35,16%. Adapun imunisasi difteri (Dt) dan tetanus difteri (Td) akan dilaksanakan pada November 2025.
Untuk imunisasi antigen baru, seperti IPV 2 (vaksin polio suntik) tercatat paling tinggi yakni 57,04%, diikuti PCV 2 sebesar 45,47%, dan Rotavirus (RV 3) sebesar 31,58%.
“Cakupan ini perlu segera dikejar. Sebab kekebalan kelompok hanya bisa terbentuk bila sebagian besar anak sudah diimunisasi lengkap. Bila tidak, risiko penyakit seperti campak, difteri, dan polio bisa kembali meningkat,” tegas dr. Pocut.
Untuk mempercepat cakupan imunisasi, Dinas Kesehatan Kota Medan menggelar PENARI (Sepekan Mengejar Imunisasi) yang dilaksanakan pada 27 Oktober–1 November 2025 di seluruh wilayah Kota Medan.
Program ini digelar serentak secara nasional dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2025, sesuai dengan surat edaran Kementerian Kesehatan RI. PENARI dilaksanakan tiga kali dalam setahun—yakni pada momen Pekan Imunisasi Dunia, HUT Kemerdekaan RI, dan HKN.
Selama kegiatan berlangsung, imunisasi diberikan di Posyandu, Puskesmas, fasilitas kesehatan, serta pos-pos imunisasi khusus yang telah ditetapkan. Jika ada anak yang tidak hadir ke pos imunisasi, petugas akan melakukan sweeping door to door ke rumah warga.
“Petugas puskesmas dan kader posyandu akan mendatangi langsung rumah-rumah untuk memastikan tidak ada bayi atau balita yang terlewat imunisasi. Tujuannya agar seluruh anak di Medan mendapat perlindungan imunisasi lengkap,” jelas dr. Pocut.
Pocut menambahkan Kota Medan memiliki 1.270 posyandu balita, masing-masing dengan dua tenaga kesehatan dan lima kader aktif. Mereka menjadi ujung tombak dalam menjangkau anak-anak yang belum diimunisasi dan memberikan edukasi kepada orang tua.
“Masih ada orang tua yang khawatir atau kurang paham pentingnya imunisasi. Karena itu, edukasi menjadi bagian penting dari kegiatan sweeping ini,” kata dr. Pocut.
Pocut berharap masyarakat ikut berperan aktif membawa anak-anaknya ke posyandu atau puskesmas terdekat selama pelaksanaan PENARI.
“Imunisasi adalah investasi kesehatan jangka panjang. Dengan imunisasi lengkap, kita bisa mencegah penyakit berbahaya dan melindungi masa depan anak-anak Medan,” sebutnya.
Menurut Pocut tantangan terbesar imunisasi bukan logistik atau distribusi, melainkan krisis kepercayaan.
“Banyak orang tua menolak bukan karena anti-sains, tapi ketidakpahaman. Oleh karena itu kita tidak boleh memaksa, tapi memberikan pemahaman kepada mereka,” kata dr. Pocut.
Ia menekankan edukasi kesehatan harus dilakukan dengan pendekatan budaya dan empati. MUI dan BPOM memastikan vaksin pemerintah memenuhi standar halal dan aman.
“Ketika orang tua tahu vaksin itu aman, halal, dan bermanfaat, kepercayaan akan tumbuh pelan-pelan,” ujarnya.
Penolakan imunisasi menjadi tantangan besar bagi dokter anak. “Imunisasi itu seperti pagar. Kalau pagar rusak di satu sisi, penyakit bisa masuk lagi,” ujar dr. Pocut.
Dinas Kesehatan kini melibatkan tokoh agama, kader PKK, dan komunitas untuk menjangkau keluarga yang menolak imunisasi. “Kita dengarkan dulu alasan mereka. Baru kita beri penjelasan dengan bahasa yang mereka pahami,” ujarnya.
Selain itu, kampanye imunisasi juga dilakukan melalui digital dan media sosial, menyasar kelompok urban maupun pelosok.
“Hampir semua masyarakat sekarang pakai HP. Kita bikin konten di medsos, mengedukasi masyarakat tentang cara kerja dan manfaat imunisasi,” tambahnya.
Gosip tak berdasar, informasi keliru, dan potongan video hoaks menjadi kendala utama pemerintah mencapai target nasional imunisasi dasar lengkap.
Jika sikap denial masyarakat tidak ditanggulangi, bukan mustahil Sumatera Utara khususnya Medan kembali dihantui kasus campak dan rubella.
Dalam hal ini, edukasi dan kepercayaan merupakan kunci agar program imunisasi berhasil. Saat orang tua disuguhkan informasi yang tepat tentang cara kerja dan manfaat imunisasi, maka anak-anak dapat terlindungi, dan kota ini melangkah menuju generasi yang lebih sehat dan tangguh di masa depan. (Mxy)













