BACA JUGA:
Serangan Israel ke Lebanon berlanjut meski gencatan senjata berlaku. Kondisi ini diperkirakan akan menjadi pola yang sama bagi Gaza.
Disrupsi.id, Jakarta — Serangan udara Israel kembali terjadi di Lebanon setelah hampir setahun gencatan senjata disepakati dengan mediasi Amerika Serikat. Pengamat menilai situasi tersebut dapat menjadi gambaran bagi kondisi Gaza pascagencatan senjata terbaru.
Menurut laporan NDTV, serangan terbaru terjadi di wilayah Msayleh, selatan Lebanon, pada 11 Oktober lalu. Serangan itu menewaskan satu warga Suriah dan melukai tujuh orang lainnya. Alat berat dan infrastruktur di sekitar lokasi juga dilaporkan rusak berat.
Situasi Pasca-Gencatan Senjata
Perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Lebanon ditandatangani pada 27 November 2024. Kesepakatan itu dibuat untuk mengakhiri perang selama dua bulan yang menewaskan ratusan orang.
Namun, meski kesepakatan tersebut masih berlaku, bentrokan sporadis terus terjadi di perbatasan kedua negara.
Israel menyatakan serangannya ditujukan untuk menghancurkan fasilitas militer Hezbollah, sementara pemerintah Lebanon menuduh Israel melanggar perjanjian dengan menyerang wilayah sipil.
Data Kementerian Kesehatan Lebanon mencatat sedikitnya 270 orang tewas dan 850 orang luka-luka sejak gencatan senjata diberlakukan.
Kantor HAM PBB menyebut 107 di antaranya merupakan warga sipil.
Tidak ada korban tewas dilaporkan di pihak Israel akibat serangan dari Lebanon selama periode yang sama.
Aktivitas Militer di Perbatasan
Pasukan Perdamaian PBB (UNIFIL) melaporkan bahwa sejak November 2024 hingga Oktober 2025, Israel telah melancarkan sekitar 950 proyektil dan 100 serangan udara ke wilayah Lebanon.
Sebaliknya, dari Lebanon hanya tercatat 21 proyektil yang diluncurkan ke arah Israel.
Kelompok Hezbollah mengaku hanya melakukan satu serangan besar selama periode tersebut.
Analis dari lembaga CSIS, Mona Yacoubian, menggambarkan kondisi di Lebanon sebagai “less-fire”, bukan “ceasefire”.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa meski intensitas pertempuran menurun, konflik masih terus berlangsung dalam bentuk terbatas.
Korban Sipil
Beberapa insiden yang menimbulkan korban sipil turut menimbulkan perhatian internasional.
Pada September lalu, sebuah serangan udara Israel menghantam kendaraan di Bint Jbeil dan menewaskan seorang warga Lebanon, istrinya, serta tiga anak mereka.
Militer Israel menyatakan target serangan tersebut adalah anggota Hezbollah, namun mengakui adanya korban sipil.
Pemerintah Lebanon menyebut serangan itu sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan meminta PBB melakukan investigasi.
Konteks Regional
Ketegangan antara Israel dan Hezbollah meningkat setelah perang di Gaza yang dimulai pada Oktober 2023. Hezbollah menyatakan serangannya ke wilayah Israel merupakan solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza.
Israel menanggapi dengan melancarkan operasi udara dan artileri ke Lebanon selatan. Gencatan senjata pada akhir 2024 sempat menurunkan eskalasi, namun laporan terbaru menunjukkan serangan lintas batas masih sering terjadi.
Implikasi bagi Gaza
Sejumlah analis menilai pola yang terjadi di Lebanon dapat mencerminkan kondisi Gaza pascagencatan senjata saat ini.
Menurut mereka, konflik di Gaza berpotensi mengalami fase serupa: penurunan intensitas pertempuran tanpa penghentian penuh operasi militer.
Mona Yacoubian dari CSIS menyebut,
“Situasi Lebanon bisa menjadi model bagi Gaza — gencatan senjata di atas kertas, tapi operasi militer masih terjadi dalam skala terbatas.”
Kondisi keamanan di perbatasan Israel–Lebanon menunjukkan bahwa gencatan senjata tidak selalu berarti berakhirnya konflik.
Serangan dan bentrokan sporadis terus terjadi di kedua wilayah, dengan warga sipil menjadi pihak yang paling terdampak.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa Gaza dapat menghadapi pola konflik serupa di masa mendatang. (kim)
Israel, Lebanon, Gaza, Hezbollah, gencatan senjata, konflik Timur Tengah, serangan udara, UNIFIL, PBB