BACA JUGA:
Sementara ribuan keluarga di Gaza masih tidur di reruntuhan, para pemimpin dunia berkumpul di Sharm El-Sheikh, resort mewah di pesisir Laut Merah dengan hotel bintang lima dan lapangan golf yang hijau di tengah gurun.
Apakah benar tokoh-tokoh ini begitu peduli pada Gaza yang sudah puluhan tahun diabaikan ?
Ilusi Perdamaian Dan Tata Kekuasaan Baru
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian pada 13 Oktober 2025 ini menghadirkan deretan nama besar: Donald Trump, Emmanuel Macron, Muhammad bin Salman, Recep Tayyip Erdogan, Tamim bin Hamad al-Tsani, Raja Abdullah II hingga Antonio Guterres.
Ini adalah upaya sistematis untuk menormalkan kembali hubungan Israel dengan negara-negara Arab di bawah payung kepentingan ekonomi bersama, mengabaikan akar persoalan utama: keadilan bagi rakyat Palestina. Perdamaian yang ditawarkan adalah perdamaian yang telah dibeli, di mana rakyat Palestina hanya menjadi komoditas sampingan dalam negosiasi energi.
Para elit global ini sejatinya sedang mengukir ulang tatanan kekuasaan di Timur Tengah pasca berbagai perang proksi dan pergeseran aliansi. Mereka merancang suatu sistem di mana mereka dapat mengontrol harga energi, mengamankan jalur dagang dan meminggirkan pemain-pemain yang tidak kooperatif.
Inilah agenda besar tersembunyi di balik senyum-senyum diplomatik. Ini tentang jalur pipa gas dari Qatar ke Eropa yang harus melewati Gaza. Ini tentang Terusan Suez yang harus tetap aman untuk kepentingan energi global. Ini tentang restrukturisasi kapitalisme energi pasca Perang Ukraina.
Maka Gaza bukan lagi sekadar isu perdamaian atas nama kemanusiaan, melainkan titik penguncian vital dalam tata kekuasaan baru.
KTT Sharm El-Sheikh bukanlah momen perdamaian sejati, melainkan babak baru restrukturisasi geoekonomi Mediterania Timur.
Mesir, Suez dan Gerbang yang Terlupakan
Ada alasan kuat mengapa KTT diadakan di Mesir, bukan di Jenewa atau New York. Mesir adalah kunci utama dalam permainan energi kali ini.
Pertama, Terusan Suez. Pendapatan Mesir dari Suez anjlok dari $10,25 miliar pada 2023 menjadi hanya $3,99 miliar pada 2024. Penurunan drastis 61%. Konflik regional membuat kapal-kapal memilih rute lebih aman meski lebih mahal.
Faktor utamanya adalah konflik regional dan tekanan keamanan di Selat Merah. Kelompok Houthi di Yaman melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang melewati jalur tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina, membuat lalu lintas kapal terganggu, banyak kapal memilih rute memutar lewat Tanjung Harapan Afrika. Presiden Mesir sendiri menyebut bahwa gangguan regional memicu kerugian sekitar US$ 7 miliar dari pendapatan Suez tahun 2024.
Mesir butuh stabilitas kawasan agar Suez kembali ramai. Mesir juga butuh investasi infrastruktur liquefaction untuk menjadi hub gas alam regional. Mesir punya lokasi strategis untuk menghubungkan Afrika, Timur Tengah dan Eropa.
Kedua, Mesir adalah negara Arab terbesar yang punya hubungan damai dengan Israel sejak 1979. Mesir bisa menjadi mediator “netral” yang melegitimasi proyek pipa gas ini di mata dunia Arab.
KTT Sharm El-Sheikh adalah ajang bargaining. Amerika dan sekutunya menawarkan investasi energi kepada Mesir dengan syarat mendukung proyek pipa gas Qatar-Eropa dan bantu “pacify” Gaza.
Eropa Kedinginan, Qatar Tersenyum
Sejak Rusia menginvasi Ukraina, Eropa kehilangan 40% pasokan gas Rusia (melalui Nord Stream dan jaringan pipa) sebagai akibat sanksi dan pemangkasan kontrak. Harga LNG melonjak 300% antara 2021-2022. Negara-negara Eropa panik mencari pengganti Gazprom.
Qatar menguasai hampir 35% pangsa pasar LNG global. Saat ini Qatar tengah menjalankan ekspansi besar-besaran kapasitas LNG dari 77 juta ton per tahun menjadi 142 juta ton per tahun pada 2030 (naik 85%).
Qatar berupaya mengunci pangsa pasar Eropa, terutama karena mereka fleksibel dalam ekspor LNG spot dan kontrak jangka pendek. Di sinilah Qatar muncul sebagai penyelamat. Eropa membutuhkan gas. Qatar punya gas. Tapi ada satu masalah, bagaimana mengirimnya dengan efisien dan murah ?
Jawabannya adalah pipa gas. Bukan LNG yang harus didinginkan, dimuat ke kapal tanker, lalu dicairkan lagi. Pipa langsung dari Qatar ke Eropa akan menghemat biaya dan memastikan pasokan stabil.
Masalahnya, jalur pipa itu harus melewati wilayah yang sangat sensitif: Gaza, Palestina. Rutenya adalah dari Qatar ke Arab Saudi, ke Yordania, ke Gaza, ke Mediterania, ke Yunani, ke Italia, dan kemudian menyebar ke negara-negara Eropa.
Negara Eropa yang paling membutuhkan gas Qatar adalah Jerman, Italia, Prancis dan Yunani. Mereka yang paling terdampak hilangnya pasokan Rusia. Mereka yang paling agresif mendukung “perdamaian” Gaza.
Tapi untuk membangun pipa itu, Gaza harus “stabil”. Palestina harus bisa dikontrol. Mesir harus kooperatif. Israel harus merasa aman.
Perdamaian Tanpa Keadilan
Kehadiran Guterres hanya sebagai “stempel legitimasi” tanpa kekuatan riil. Dan absennya Vladimir Putin (Rusia) dan Xi Jinping (China) dalam konferensi perdamaian tersebut telah menunjukkan memang sedang terjadi perpecahan tatanan dunia.
Elite global tidak akan pernah memberikan perdamaian sejati secara sukarela. Perdamaian mereka adalah perdamaian yang melindungi privilese, yang menstabilkan akumulasi kapital, yang menormalisasi ketidakadilan struktural.
Perdamaian di Gaza membutuhkan dekolonisasi (pengembalian tanah dan sumber daya), redistribusi (kekayaan dari oligarki ke pekerja), demokratisasi (keputusan dibuat rakyat, bukan elite) dan reparasi (pertanggungjawaban historis untuk kolonialisme). Tapi tidak ada satu pun yang dibahas di Sharm El-Sheikh.
Mari kembali ke pertanyaan awal. Mengapa perdamaian Gaza tiba-tiba jadi prioritas ? Karena Gaza menghalangi proyek energi triliunan dolar.
Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan yang dilegitimasi. Sharm El-Sheikh bukan akhir sejarah. Ini adalah pertarungan yang berlanjut antara kapitalisme ekstraktif dan sosialisme ekologis.
Dalam 5 tahun, kita akan melihat pipa gas kembali mengalir untuk Eropa, Gaza menjadi “damai” tapi tetap terjajah dan dunia merayakan normalisasi sambil melupakan bahwa perdamaian ini dibeli dengan gas alam triliunan dolar.
oleh: Bobby Ciputra
Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)