BACA JUGA:
Disrupsi.id, Jakarta — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan dua aturan baru yang menandai langkah penting dalam memperkuat industri perbankan syariah nasional. Aturan ini ditujukan agar bank syariah di Indonesia punya struktur permodalan dan likuiditas yang lebih kuat, efisien, dan sejalan dengan standar keuangan global.
Kedua aturan tersebut tertuang dalam POJK Nomor 20 Tahun 2025 tentang Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), serta POJK Nomor 21 Tahun 2025 tentang Leverage Ratio bagi BUS.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi besar OJK memperkuat fondasi sistem keuangan syariah melalui Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023–2027, yang menekankan pentingnya ketahanan industri dan tata kelola yang sejalan dengan praktik terbaik internasional seperti Basel III dan Islamic Financial Services Board (IFSB).
Likuiditas Lebih Kuat, Pendanaan Lebih Stabil
Melalui POJK 20 Tahun 2025, OJK mendorong BUS dan UUS agar lebih disiplin mengelola likuiditas jangka pendek dan pendanaan jangka panjang. Mereka diwajibkan menjaga rasio LCR dan NSFR minimal 100 persen secara bertahap mulai 2026.
Tujuannya sederhana: memastikan bank syariah memiliki cadangan likuiditas yang cukup untuk menghadapi gejolak ekonomi tanpa mengganggu aktivitas pembiayaan. Selain itu, BUS dan UUS juga harus rutin menghitung serta melaporkan kondisi likuiditas dan pendanaan secara transparan di tingkat individu maupun konsolidasi.
Peraturan ini tak hanya soal angka, tetapi juga soal kepercayaan. Dengan tata kelola yang lebih disiplin, industri perbankan syariah diharapkan makin tangguh menghadapi volatilitas pasar global dan mampu bersaing dengan lembaga keuangan konvensional di tingkat internasional.
Struktur Permodalan Lebih Sehat lewat POJK 21 Tahun 2025
Sementara itu, POJK 21 Tahun 2025 menyoroti pentingnya ketahanan modal bagi bank syariah. OJK memperkenalkan indikator baru, yakni leverage ratio, yang akan menjadi ukuran tambahan dalam menilai kekuatan modal perbankan.
Aturannya cukup tegas: setiap BUS wajib menjaga leverage ratio minimal 3 persen setiap waktu. Laporan pertama akan dimulai pada triwulan I tahun 2026, dan publikasi resmi dimulai September tahun yang sama.
Bagi BUS yang belum memenuhi ambang batas, OJK memberi kesempatan untuk menyusun rencana tindak lanjut. Namun, bila tetap tidak mematuhi ketentuan, sanksi administratif siap diterapkan.
Langkah ini diharapkan menciptakan industri perbankan syariah yang tumbuh dengan sehat — tidak ekspansif berlebihan, tapi tetap kompetitif dan berdaya tahan tinggi terhadap tekanan ekonomi global.
Dengan dua regulasi baru ini, OJK mempertegas perannya sebagai pengarah utama ekosistem keuangan syariah Indonesia. Penguatan likuiditas dan permodalan ini bukan hanya soal kepatuhan regulasi, tapi juga pondasi menuju sistem perbankan syariah yang lebih kredibel, stabil, dan mampu bersaing di kancah dunia. (dfn)
OJK, perbankan syariah, POJK 20 Tahun 2025, POJK 21 Tahun 2025, leverage ratio, liquidity coverage ratio, net stable funding ratio, bank umum syariah, unit usaha syariah, Basel III, IFSB, RP3SI, regulasi OJK terbaru, permodalan bank syariah, likuiditas perbankan syariah, industri keuangan syariah.













