Tekno

Internet Indonesia: Mahal Se-ASEAN, Lemotnya Bikin Emosi Jiwa

×

Internet Indonesia: Mahal Se-ASEAN, Lemotnya Bikin Emosi Jiwa

Sebarkan artikel ini
Internet Indonesia: Mahal Se-ASEAN, Lemotnya Bikin Emosi Jiwa
Internet di Indonesia

Disrupsi.id, Medan – Bayangkan membayar mahal untuk internet, tapi kecepatannya malah bikin emosi. Inilah kenyataan pahit yang dihadapi banyak pengguna di Indonesia tahun 2025.

Laporan terbaru We Are Social – Digital 2025 bersama Ookla Global Index (Agustus 2025) menunjukkan fakta mencengangkan: Indonesia menjadi negara dengan biaya internet paling mahal di ASEAN, tapi kecepatannya justru dua terbawah.

Sertifikat JMSI

Rata-rata harga internet tetap di Indonesia mencapai sekitar Rp6.800 per Mbps, jauh di atas negara tetangga seperti Filipina (Rp2.325) atau Malaysia (Rp1.494). Ironisnya, dari sisi kecepatan unduh, Indonesia hanya mencatat 39,88 Mbps—di bawah Laos dan jauh tertinggal dari Singapura yang melesat hingga 394,30 Mbps.

Mahal, Tapi Lemot
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: kenapa internet di Indonesia bisa semahal itu, padahal kecepatannya bikin frustrasi?

Data menunjukkan bahwa biaya infrastruktur dan monopoli jaringan di beberapa wilayah masih tinggi. Ditambah lagi, banyak penyedia layanan internet yang berlomba menjual “paket unlimited” tanpa diiringi peningkatan kapasitas bandwidth yang memadai.

“Masalah klasiknya tetap sama: banyak janji, tapi kecepatan tak sepadan,” kata seorang pengamat telekomunikasi dari Medan, ketika diminta komentar oleh Disrupsi.id.

Kondisi ini bukan sekadar angka statistik. Olivia, warga Namorambe, Sumatera Utara, telah merasakannya langsung.

“Saya pakai First Media selama tiga bulan, tapi koneksinya lemot terus. Akhirnya saya ganti ke XL Satu, eh malah tambah lambat, seperti kura-kura,” keluh Olivia kepada Disrupsi.id.
“Untuk XL, kalau tak mampu menyediakan internet cepat, mending tutup aja perusahaannya. Jangan memaksakan diri,” ujarnya dengan nada kesal.

Ironisnya, First Media dan XL Satu kini berada di bawah satu bendera setelah XL Axiata resmi mengakuisisi First Media. Harapannya tentu agar layanan makin baik, tapi di lapangan, keluhan justru meningkat.

“Kalau dulu lelet, sekarang lebih lelet lagi,” ujar Olivia singkat.

Keluhan seperti Olivia bukan kasus tunggal. Di berbagai forum daring, pengguna di banyak daerah juga mengeluhkan hal serupa: harga langganan terus naik, tapi kecepatan internet stagnan.

Di sisi lain, Indonesia sedang mengalami ledakan digital. Menurut laporan We Are Social 2025, jumlah pengguna internet di tanah air sudah menembus 212 juta orang, atau sekitar 74,6 persen dari populasi. Dengan angka sebesar itu, kebutuhan akan koneksi cepat dan stabil seharusnya menjadi prioritas nasional, bukan sekadar janji iklan.

Dampak ke Dunia Digital
Koneksi yang lambat bukan hanya urusan pribadi. Bagi pelaku ekonomi digital, mulai dari kreator konten, virtual assistent, penjual online, hingga media mainstream, koneksi yang tidak stabil bisa berarti kehilangan peluang.

Bayangkan saat sedang live jualan di TikTok, sinyal tiba-tiba drop. Penonton pergi, pesanan batal. Atau saat jurnalis sedang mengunggah video liputan, tiba-tiba loading tanpa akhir.

Di era di mana kecepatan internet sama pentingnya dengan listrik, lemahnya infrastruktur digital bisa jadi “penghambat disrupsi” itu sendiri.

Saatnya Transparansi dan Persaingan Sehat
Konsumen kini makin sadar. Mereka menuntut transparansi, berapa sebenarnya kecepatan yang mereka dapat dibanding janji di brosur? Apakah ada kompensasi kalau jaringan terus bermasalah?

Pemerintah dan operator perlu lebih terbuka soal kualitas layanan. Sebab, ketika harga setinggi langit tapi kecepatan di dasar jurang, kepercayaan publik bisa jatuh.

Jika kondisi ini tak segera dibenahi, tak mustahil Indonesia akan tertinggal jauh dalam peta ekonomi digital ASEAN.

Disrupsi atau Distorsi?
Ironinya, di negara yang sedang gencar bicara tentang transformasi digital, koneksi internet justru masih tersendat. Padahal, internet cepat bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar di era modern.

Kisah seperti yang dialami Olivia hanyalah satu dari jutaan suara yang menuntut perubahan nyata: internet cepat, stabil, dan terjangkau.
Tanpa itu, “disrupsi digital” hanya akan jadi slogan kosong di tengah sinyal yang tersendat-sendat. (dfn)