Ekbis

OJK Selamatkan Rp6,1 Triliun Uang Publik dari Penipuan Digital

×

OJK Selamatkan Rp6,1 Triliun Uang Publik dari Penipuan Digital

Sebarkan artikel ini
OJK Selamatkan Rp6,1 Triliun Uang Publik dari Penipuan Digital
Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK

Disrupsi.id, Jakarta — Dalam satu tahun terakhir, dunia keuangan digital Indonesia mengalami paradoks. Di satu sisi, kemudahan transaksi daring memperluas inklusi keuangan. Namun di sisi lain, ancaman penipuan finansial meningkat tajam, dengan kerugian masyarakat yang mencapai Rp6,1 triliun.

Bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), situasi ini bukan sekadar data statistik. Ia adalah peringatan tentang pentingnya membangun kepercayaan digital di tengah derasnya arus inovasi.

Sertifikat JMSI

Untuk itu, OJK memperkuat sistem perlindungan konsumen melalui Integrated Alert and Surveillance Center (IASC) — pusat deteksi dini yang memantau pergerakan transaksi mencurigakan di seluruh ekosistem keuangan.

“Kami tidak hanya mengawasi, tapi juga melindungi masyarakat dari praktik keuangan ilegal yang makin canggih,” ujar Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK dalam keterangan resmi RDKB September 2025.

Melalui sistem IASC, OJK mencatat 274.772 laporan pengaduan konsumen sejak awal tahun. Dari jumlah itu, ribuan kasus berhasil ditindaklanjuti secara cepat — termasuk memblokir rekening senilai Rp374,2 miliar yang diduga terkait aktivitas penipuan.

Ini bukan capaian kecil di tengah derasnya kejahatan siber yang sering bersembunyi di balik aplikasi investasi, pinjaman daring, hingga trading ilegal.

Teknologi IASC menggabungkan kecerdasan buatan dan analisis perilaku untuk memantau anomali transaksi. Sistem ini memungkinkan tim pengawasan mendeteksi pola keuangan tidak wajar sebelum menimbulkan kerugian lebih besar.

Model pengawasan ini disebut sebagai bagian dari regtech (regulatory technology), strategi baru OJK untuk mengimbangi kecepatan inovasi finansial dengan pengawasan digital adaptif.

Data OJK menunjukkan bahwa modus penipuan finansial kini semakin kompleks. Dari phishing hingga investment scam, pelaku memanfaatkan kerentanan emosional dan rendahnya literasi keuangan digital masyarakat.

“Sebagian besar korban datang dari kalangan pengguna baru, yang belum memahami perbedaan antara lembaga resmi dan entitas ilegal,” tulis OJK dalam laporannya.

Fenomena ini menandakan bahwa kecepatan digitalisasi tidak sebanding dengan kecepatan literasi. Banyak masyarakat lebih dulu mengenal aplikasi pinjaman daripada memahami risiko bunga, keamanan data, atau mekanisme izin resmi.

Untuk memperkuat perlindungan, OJK menggandeng Bank Indonesia, Kementerian Kominfo, dan aparat penegak hukum dalam forum koordinasi nasional Satgas Waspada Investasi (SWI).

Sinergi ini menargetkan dua hal: mempercepat pemblokiran rekening ilegal, dan menindak pelaku penipuan lintas platform.

Selain itu, OJK juga mendorong pelaku industri fintech dan bank digital untuk memperkuat compliance check otomatis. Dengan sistem real-time reporting, setiap anomali transaksi bisa langsung diinvestigasi — bahkan sebelum konsumen melapor.

Pendekatan ini bukan sekadar reaktif, tapi preventif. Di masa lalu, penegakan hukum sering datang terlambat. Kini, pengawasan berlangsung simultan dengan aktivitas pasar.

Meski berbasis sistem digital, inti dari upaya OJK tetaplah manusia. Setiap laporan yang masuk ke pusat layanan 157, media sosial, atau aplikasi OJK direspons oleh petugas yang dilatih menangani kasus penipuan finansial secara empatik.

“Banyak korban datang bukan hanya karena kehilangan uang, tapi juga kehilangan rasa percaya,” kata seorang analis pengaduan OJK yang enggan disebutkan namanya.

Di sinilah OJK mencoba mengembalikan hal yang paling berharga dari sebuah ekosistem keuangan: kepercayaan.

Perlindungan konsumen kini menjadi pilar utama ekonomi digital.
Dalam jangka panjang, keberhasilan inovasi finansial tidak diukur dari berapa banyak aplikasi yang tumbuh, tetapi dari seberapa aman masyarakat menggunakannya.

Dan itulah yang sedang dibangun OJK — sebuah sistem pengawasan yang bukan hanya canggih, tapi juga berpihak pada publik.

“Keuangan digital tanpa perlindungan konsumen ibarat mobil tanpa rem,” ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda. “Yang dilakukan OJK ini adalah memasang sistem rem otomatis agar akselerasi tidak berujung bencana.”

Dengan Rp6,1 triliun uang publik yang berhasil diselamatkan, langkah ini bukan hanya soal pengawasan, melainkan juga perlawanan terhadap ketimpangan digital — antara mereka yang paham teknologi dan mereka yang jadi korban darinya. (dfn)